Senin, 09 Juli 2012

Esai


SAJAK SEBATANG LISONG Banyak orang yang berpandangan bahwa sajak lebih bagus didiskusikan dan diwacanakan, tetapi lebih pas dan tepat untuk dimaknai. Tidak heran bahwa diskusi sajak  sering sekali ramai  karena dianggap menarik dan mengubah keadaan hati menjadi lebih hidup.Jika kita kaji, kemunculan ekstrimisme sajak  yang mengarah kepada tindakan myelintir sedikit kinerja pemerintah seperti yang terdapat pada sajak sebatang lisong karya W.S Rendra, serta mengancam pemerintahan dan demokrasi, adalah salah satu implikasi dari sajak yang tidak pernah didiskusikan dan tidak menjadi wacana publik. Sebab, pemahaman sajak  yang diterima masyarakat menjadi statis, monolitik, mengarah kepada klaim kebenaran, dan tidak muncul berbagai alternatif penafsiran. Padahal sebagaimana ilmu-ilmu lainnya, pengetahuan tentang sajak juga mengalami evolusi agar dia tidak menjadi beku dan ketinggalan zaman. Pada dasarnya semua sajak mengajarkan keadilan, keluhuran, dan larangan berbuat kejahatan. Namun, jurang antara sajak, idealisme sajak, dan pembacanyanya yang gagal memahami pesan dasar sajaknya W.S Rendra memang terjadi di banyak oknum pemerintahan. Tidak heran jika sajak W.S Rendra  seringkali menjadi tertuduh atas berbagai konflik sosial, politik, dan kemanusiaan yang terjadi.Di samping itu, ada satu hal yang menjadi unsur utama dan pertama, dalam kehidupan kita, namun jarang sekali dihayati dan diimplementasikan, yaitu keadilan sosial yang sesungguhnya menjadi inti sajak sebatang lisong. Keadilan sosial ini memang dengan mudah kita temukan dalam sajak-sajak W.S Rendra. Namun, dalam kehidupan nyata pelintiran tentang keadilan sosial ini jarang dibumikan dalam praktik kehidupan. Bahkan, dalam sistem pemerintahan dan model kekuasaan di hampir semua pemerintahan  pun jarang sekali yang menjadikan keadilan sosial sebagai ruh perjuangan dan dasar gerak dalam menjalankan kekuasaan. Para sastrawan pun, meski banyak juga yang fasih dan gemar menyuarakan keadilan sosial sebagai ekspresi  harian dan tema utama sajaknya, masih banyak yang belum bisa mentransformasikan soal itu dalam kehidupan sehari-hari guna membentuk moralitas publik yang menjunjung tegaknya kesejahteraan rakyat kecil dan prinsip keadilan. Hal lain yang menyebabkan masyarakat  gagal menjawab tantangan kemanusiaan dan peradaban adalah kita tidak membaca dan belajar dari sejarah. Akibat dari tidak membaca sejarah maka, usaha dalam membina dan membangun bangsa ini bisa gagal. Dalam soal lautan kemiskinan yang terbentang luas selama berabad-abad, hingga kini belum banyak para sastrawan yang berpikir untuk mencari jalan keluarnya. Pembangunan yang tidak mengacu pada prinsip keadilan sosialpun masih banyak dipertahankan dan menjadi proyek kesayangan para pejabat.Dan di atas itu semua, masalah kepemimpinan bangsa ini masih memprihatinkan, yang diurus hanya kekuasaan, dan politik masih banyak dijadikan sebagai profesi dan mata pencaharian para politisi. Rahim bangsa ini masih kikir melahirkan pemimpin yang kreatif. Meski keadaan begitu parah dan memprihatinkan, agama melarang kita berputus asa dan larut dalam kesedihan. Maka kita harus berbuat sebaik-baiknya, seserius-seriusnya, dan semaksimalnya, maka W.S Rendra pun menuangkan rasa simpatinya melalui sajak-sajaknya termasuk sajak sebatang lisong.Pada keadaan seperti itu, semestinya para aparat dan pemerintahan berfungsi dan berdiri paling depan dalam menggelorakan semangat keadilan sosial dalam melindungi kaum miskin , membela rakyat kecil, dan memprotes pemerintah yang korup dan mengejar kepentingan politiknya sendiri. Sajak mampu menjawab persoalan nyata yang dihadapi rakyat, misalnya mengapa masih banyak yang tidak bisa makan dan tidak bisa sekolah? Maka, jangan sampai para sastrawan justru menjadi pelegitimasi rezim dan pemberi stempel terhadap kebijakan yang dikeluarkan orang kaya, negara, dan kelompok masyarakat yang merugikan rakyat kecil. Para sastrawan harus siap dan rela jika menjadi tidak populer, tidak berlimpah materi, jauh dari kekuasaan. Perselingkuhan antara politisi, pengusaha, dan sastrawan akan membuat masyarakat awam skeptis dan sinis terhadap peran sajak. sastrawan justru harus berani mengingatkan penguasa dan pengusaha yang batil. W.S Rendra dalam sajaknya sebatang lisong menyatakan, Dan aku melihat delapan juta kanak-kanak tanpa pendidikan.Aku bertanya,tetapi pertanyaan-pertanyaanku membentur meja kekuasaan yang macet, dan papantulis-papantulis para pendidik yang terlepas dari persoalan kehidupan.Delapan juta kanak-kanak menghadapi satu jalan panjang,tanpa pilihan,tanpa pepohonan,tanpa dangau persinggahan,tanpa ada bayangan ujungnya. Oleh karenanya, persoalan sajak dan keadilan sosial jangan hanya dijadikan wacana saja, tetapi harus dibumikan dalam kehidupan nyata. sajak dan kaum saatrawan harus betul-betul mendukung suasana yang kondusif bagi tegaknya keadilan sosial. Kolusi penguasa-pengusaha yang merugikan kehidupan rakyat jelata harus tak jemu dikecam oleh sastrawan. Seperti  sajak sebatang lisong di bawah ini :Menghisap sebatang lisong melihat Indonesia Raya, mendengar 130 juta rakyat, dan di langit dua tiga cukong mengangkang, berak di atas kepala mereka Matahari terbit. Fajar tiba. Dan aku melihat delapan juta kanak-kanak tanpa pendidikan. Aku bertanya, tetapi pertanyaan-pertanyaanku membentur meja kekuasaan yang macet, dan papantulis-papantulis para pendidik yang terlepas dari persoalan kehidupan. Delapan juta kanak-kanak menghadapi satu jalan panjang, tanpa pilihan, tanpa pepohonan, tanpa dangau persinggahan, tanpa ada bayangan ujungnya. ………………….. Menghisap udara yang disemprot deodorant, aku melihat sarjana-sarjana menganggur berpeluh di jalan raya; aku melihat wanita bunting antri uang pensiun. Dan di langit; para tekhnokrat berkata  bahwa bangsa kita adalah malas, bahwa bangsa mesti dibangun; mesti di-up-grade disesuaikan dengan teknologi yang diimpor Gunung-gunung menjulang. Langit pesta warna di dalam senjakala Dan aku melihat protes-protes yang terpendam, terhimpit di bawah tilam. Aku bertanya, tetapi pertanyaanku membentur jidat penyair-penyair salon, yang bersajak tentang anggur dan rembulan, sementara ketidakadilan terjadi di sampingnya dan delapan juta kanak-kanak tanpa pendidikan termangu-mangu di kaki dewi kesenian. Bunga-bunga bangsa tahun depan berkunang-kunang pandang matanya, di bawah iklan berlampu neon, Berjuta-juta harapan ibu dan bapak menjadi gemalau suara yang kacau, menjadi karang di bawah muka samodra. ………………….. Kita harus berhenti membeli rumus-rumus asing. Diktat-diktat hanya boleh memberi metode, tetapi kita sendiri mesti merumuskan keadaan. Kita mesti keluar ke jalan raya, keluar ke desa-desa, mencatat sendiri semua gejala, dan menghayati persoalan yang nyata. Inilah sajakku Pamplet masa darurat. Apakah artinya kesenian, bila terpisah dari derita lingkungan. Apakah artinya berpikir, bila terpisah dari masalah kehidupan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar